Minggu, 02 Agustus 2015
Membentuk Anak Menjadi Pribadi yang Tangguh
Ketika kegagalan memunculkan sakit yang tertahankan, bunuh diri menjadi salah satu jalan untuk melakukan pelarian. Misalnya kasus yang dialami seorang remaja asal India beberapa waktu lalu. Karena gagal dalam ujian matematika, dia merasa tidak ada gunanya melanjutkan hidup dan kemudian membunuh dirinya (Gunawan, n.d.). Jika kita perhatikan, kasus depresi hingga melakukan bunuh diri karena mengalami suatu kegagalan sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Beranekaragam jenis kegagalan yang dialami. Ada yang gagal di area akademis, gagal dalam menjalin relasi dengan orang lain, gagal di dunia politik, hingga gagal dalam urusan bisnis dan keuangan. Yang mengalami kegagalan pun berasal dari berbagai usia. Mulai dari anak-anak hingga mereka yang sudah lanjut usia.
Jika dilihat lebih jauh, faktor internal yang ada dalam diri individu sendiri sangat menentukan kondisi saat yang bersangkutan mengalami suatu masalah. Ada yang menyebut faktor internal ini sebagai resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menjadi lentur (fleksibel) ketika mengalami kegagalan. Kelenturan inilah yang akan membantunya untuk dapat kembali menata dan melanjutkan kehidupan manakala dia mengalami suatu kegagalan. Bagaikan bola bersifat kenyal yang tidak pecah ke atas saat dia terjatuh di atas permukaan lantai yang keras namun justru naik kembali. Saat orang yang resiliensinya rendah mengalami depresi bahkan melakukan bunuh diri saat mengalami suatu kegagalan, orang yang memiliki resiliensi yang tinggi tidak akan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya tersebut. Dia dapat menerimanya bahkan dalam banyak kasus justru menjadikan kegagalannya menjadi saat melakukan “ancang-ancang” untuk kemudian “melompat” kembali lebih tinggi dari saat-saat sebelumnya.
Resiliensi (kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit) dalam diri seseorang perlu bentuk semenjak masih kanak-kanak. Oleh karenanya, peran orangtua dan guru menjadi penting.
Beberapa hal dapat dilakukan oleh orangtua dan guru untuk membentuk anak-anak yang dipercayakan kepada mereka agar dapat menjadi pribadi yang memiliki resiliensi tinggi.
1. Orangtua dan guru harus menjadi model pribadi tangguh terlebih dahulu
Orang yang memiliki resiliensi yang tinggi akan terlihat dari cara berpikir, berperilaku, dan ekspresi emosinya saat dia mengalami kegagalan. Mereka yang memilki resiliensi yang tinggi cenderung berpikir secara lebih rasional, terkendali perilakunya, dan mampu mengekspresikan emosi sedih akibat kegagalannya secara wajar. Cara pertama membentuk anak menjadi peribadi yang resilien adalah memberikan model bagaimana menghadapi suatu kegagalan. Hal ini penting karena bagaimana anak berpikir, berperilaku, dan mengelola emosinya sangat dipengaruhi oleh contoh dari orang-orang berpengaruh di dalam hidupnya khususnya orangtua dan guru. Tidak heran jika misalnya orangtua periang akan memiliki anak yang cenderung periang dan sebaliknya orangtua yang mudah kecewa akan memiliki anak dengan karakter yang juga cenderung mudah kecewa.
2. Mengajarkan pada anak untuk menghargai diri sendiri
Harga diri yang positif lewat kemampuan menghargai diri sendiri dalam kondisi apapun yang dialami menjadi salah satu prasyarat individu untuk menjadi pribadi yang resilien. Dengan harga diri yang positif, individu akan merasakan bagaimana menjadi tetap berharga meskipun dia sedang jatuh dalam suatu kegagalan. Perasaan tetap berharga ini juga akan menjadi penting saat individu berhadapan dengan penilaian sosial ketika dia mengalami kegagalan. Tidak dapat dipungkiri dalam masyarakat kita, mereka yang megalami kegagalan justru seringkali bebannya bertambah karena berbagai penilaian negatif bahkan perlakuan yang buruk dari lingkungan sekitarnya. Dengan adanya harga diri yang positif, individu akan mampu menghadapi beban ganda tersebut dan melanjutkan kehidupannya kembali sesudah mengalami peristiwa kegagalan.
3. Tidak menerapkan standar yang menyulitkan anak
Jika ada kecenderungan masyarakat menerapkan standar yang seringkali tidak realistis, misalnya harus ranking 1, harus menang, dan semacamnya, orangtua dan guru sebaiknya tidak melakukan hal yang sama. Mereka justru perlu memperhatikan keunikan anak dan memberikan standar yang memperhatikan keunikan tersebut. Misalnya yang penting berlaku jujur meskipun tidak menjadi pemenang.
4. Mengajak anak belajar menerima dan memaknai kegagalan.
Saat anak mengalami kegagalan, orangtua dan guru perlu mengajak anak untuk melihatnya dalam perspektif yang lebih jauh dan lebih bermakna. Keberhasilan memaknai peristiwa dalam hidup termasuk kegagalan adalah pembeda mereka yang berkepribadian matang dan tidak. Pemaknaan terhadap kegagalan bisa saja dilakukan misalnya dengan kesadaran bahwa setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan. Pemaknaan lainnya adalah bahwa kegagalan berarti satu langkah maju untuk semakin mendekati keberhasilan
5. Mengajarkan anak untuk bersyukur
Ciri lain pribadi yang resilien adalah memiliki kemampuan untuk bersyukur. Mereka yang resiliensinya rendah cenderung memperbesar suatu peristiwa kegagalan yang sedang dialami hingga menutupi hal-hal positif lain yang sebenarnya telah ada dalam hidupnya. Misalnya saja orang yang resiliensinya rendah bisa saja melihat kegagalan dalam bekerja menjadi akhir dari dunia. Sebaliknya orang yang resiliensinya tinggi, meskipun gagal dalam bekerja, bisa saja tetap melihat bahwa dia memiliki hal yang lain yang masih bisa disyukuri misalnya keluarga, teman, dan lain-lain. Perasaan bersyukur ini justru kemudian membuat pikiran, perilaku, dan emosinya tetap terjaga sehingga kemudian justru membantunya melanjutkan hidupnya misalnya dengan mencari pekerjaan baru
Sumber : health.liputan6.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar