Rabu, 05 Agustus 2015

Stres, Gangguan Psikologis, dan Hubungannya dengan Kondisi Fisik


Pernah merasa tertekan dalam menghadapi suatu masalah? Bisa jadi kita mengalami stres. Stres merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis yang kerap menghinggapi manusia, terutama di era modern ini. Semakin kompleksnya permasalahan hidup dan semakin bertambahnya populasi manusia telah meningkatkan peluang seseorang terkena stres. Mari kita bahas seluk-beluk stres sebagai gangguan psikologis dan hubungannya dengan kesehatan fisik kita.

Konsep sehat dan sakit

Kesehatan adalah salah satu konsep yang telah sering digunakan namun sukar untuk dijelaskan artinya. Beberapa faktor yang berbeda terkadang menyebabkan sukarnya mendefinisikan kesehatan, kesakitan, dan penyakit. Pada tahun 1947, WHO mencoba untuk menggambarkan kesehatan secara luas. Kesehatan (health) diartikan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani), sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.

Di sisi lain, penyakit merupakan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologis dan psikofisiologis pada seseorang. Kesakitan adalah reaksi personal, interpersonal serta kultural terhadap penyakit. Kesakitan juga merupakan respon subjektif dari pasien, serta respon di sekitarnya terhadap keadaan tidak sehat, tidak hanya memasukkan pengalaman tidak sehatnya saja, tapi arti dari pengalaman tersebut bagi dia.

Gangguan psikologis dan kondisi fisik

Kondisi fisik dan psikologis seseorang seringkali saling terkait. Dari sakit fisik bisa muncul gangguan psikologis. Sebaliknya pula, dari gangguan psikologis bisa muncul sakit fisik. Dalam mengkaji hubungan di antara keduanya, analisis permasalahan meliputi pencarian/penggalian dan penjelasan hubungan antara kepribadian dan penyakit fisik yang diikuti dengan pendekatan penelitian kontemporer.

Apa sebenarnya perbedaan antara gangguan psikologis seperti cemas dan depresi dengan gangguan fisik seperti penyakit infeksi dan kanker? Secara langsung, gangguan psikologis dapat dijelaskan dengan mengetahui penyebab psikologis itu sendiri seperti stres, pengalaman trauma, dan masalah kanak-kanak. Sementara itu, gangguan fisik diakibatkan oleh penyebab fisik. Dari situ diketahui bahwa gangguan psikologis seharusnya disembuhkan dengan sarana psikologi seperti psikoterapi dan terapi perilaku, sedangan gangguan fisik disembuhkan secara medis.

Gangguan psikologis berkisar dari penyakit mental yang serius sampai kasus yang depresi yang relatif ringan yang biasanya disebabkan ketidakseimbang biokimia, sering dianggap sebagai keturunan. Hal ini terutama didukung oleh penelitian DNA. Di sisi lain, jenis kepribadian tertentu ada yang mudah terkena penyakit jantung dan stres, yang merupakan faktor utama dalam penyebab banyak penyakit fisik. Pengobatan holistik dan terapi sejenisnya untuk penyakit fisik seringnya mempunyai komponen psikologi yang besar seperti program manajemen stres, relaksasi, hingga pelatihan pernafasan.


Sejarah penelitian stres

Sumbangan pertama dalam penelitian tentang stres diberikan oleh Cannon pada tahun 1932 mengenai respon fight-or-flight, yang menyatakan bahwa organisme merasakan adanya suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf sistematik dan endokrin. Melalui respon fisiologis ini, organisme didorong untuk menyerang ancaman tadi atau melarikan diri.

Sumbangan paling penting dalam penelitian stres dilakukan oleh Hans Seyle pada tahun 1936 tentang General Adaptation Syndrome (GAS). Seyle menyatakan bahwa ketika organisme berhadapan dengan stresor, dia akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan yang diatur oleh kelenjar adrenal yang menaikkan aktivitas sistem saraf simpatetik. Tanpa memperhatikan penyebab dari ancaman, individu akan merespon dengan pola reaksi fisiologis yang sama, selebihnya dengan mengulangi atau memperpanjang stres sehingga akan melicinkan dan mematahkan sistem. Model oleh Seyle ini menjadi dasar dalam membahas masalah stres.

Stres dapat dikonseptualisasikan dari berbagai macam titik atau pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon, dan stres sebagai interaksi antara individu dan lingkungan.

1. Stres sebagai ‘stimulus’

Pendekatan ini menitikberatkan pada lingkungan dan menggambarkan stres sebagai suatu stimulus (atau stres sebagai ‘variabel bebas’). Pendekatan yang mengungkapkan hubungan antara kesehatan dengan penyakit pada kondisi tertentu di lingkungan eksternal, dilacak pertama kali oleh Hipocrates di awal abad 15 SM, yang menyatakan karakteristik kesehatan dan penyakit dikondisikan oleh lingkungan eksternal. Menurut model ini, seorang individu bertemu secara terus-menerus dengan sumber-sumber stresor yang potensial yang ada di dalam lingkungan, tetapi hanya satu yang tampak minor atau kejadian yang tidak berbahaya dapat mengubah keseimbangan yang tipis yang ada di antara batasan coping (cara mengatasi masalah) dengan keseluruhan perlawanan perilaku coping.

Kelemahan model ini adalah adanya perbedaan individual, tingkat toleransi seseorang, dan harapan-harapannya. Tidak ada kriteria objektif yang bisa mengukur situasi yang penuh stres kecuali ukuran pengalaman individual, sedangkan lingkungan yang memberi tekanan dapat berupa lingkungan kerja.

2. Stres sebagai ‘respon’

Pendekatan ini memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai suatu respon (atau stres sebagai variabel tertentu). Menurut Sutherland dan Cooper, stres sebagai suatu respon tidak selalu bisa dilihat, hanya akibatnya saja yang bisa dilihat. Pendekatan ini berfokus pada perspektif medis.

 3. Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan

Pendekatan ini menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional. Di dalam proses hubungan ini termasuk juga proses penyesuaian.

Stres bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja, tetapi juga suatu proses di mana seseorang adalah suatu perantara (agen) yang aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi-strategi perilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi stres yang berbeda pada stresor yang sama. Jadi terdapat perbedaan dalam mengartikan tumbuhnya kesadaran terhadap stres merupakan proses yang kompleks dan dinamis yang ssuai dengan pendekatan biopsikososial terhadap kehidupan manusia.

Menurut Sutherland dan Cooper, konsep dasar stres adalah sebagai berikut:

  • Penilaian kognitif: stres adalah pengalaman subjektif yang mungkin didasarkan atar pesepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan.
  • ŸPengalaman: suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban, keterbukaan, proses belajar, kemampuan nyata, dan konsep reinforcement.
  • Tuntutan: tekanan, keinginan, atau rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya, yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat diterima.
  • Pengaruh interpersonal: ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan perilaku coping.
  • Keadaan stres: merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dimiliki untuk menemukan tuntutan tersebut. Proses yang menikuti merupakan proses coping, serta konsekuensi dari penerapan strategi coping.

Sumber-sumber stres

Meskipun pendekatan yang sering digunakan untuk memahami stres berasal dari pandangan interaktif, namun kita perlu juga mengetahui potensi stresor yang ada di lingkungan. Adapun stresor-stresor tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Sumber-sumber stres di dalam diri seseorang:
  1. Kesakitan: tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu.
  2. Penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan sumber stres yang utama. Menurut teori Kurt lewin, kekuatan motivasional yang melawan akan menyebabkan dua kecenderungan yang berlawanan, yaitu pendekatan dan penghindaran.
B. Sumber-sumber stres di dalam keluarga:

Stres dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga, seperti perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, hingga tujuan yang saling berbeda.

C. Sumber-sumber di dalam komunitas dan lingkungan:

Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres, dan beberapa pengalaman stres orang tua bersumber dari pekerjaannya dan lingkungan yang sifatnya stressful.

(a)    Pekerjaan dan stres

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stres sehubungan dengan pekerjaan mereka. Faktor-faktor yang dapat membuat pekerjaan itu stressful, antara lain:
1. Tuntutan pekerjaan
Tuntutan pekerjaan dapat menimbulkan stres dalam 2 cara, yaitu pekerjaan terlalu banyak dan jenis pekerjaan itu sendiri sudah lebh stresful daripada jenis pekerjaan lain.
2. Pekerjaan-pekerjaan yang menuntut tanggung jawab bagi kehidupan manusia
Contohnya, tenaga medis yang mempunyai beban kerja yang berat dan harus berhati-hati supaya tidak membuat kesalahan sehingga dapat menimbulkan konsekuensi yang serius.

Menurut Sarafino, stres kerja dapat disebabkan karena lingkungan fisik yang terlalu menekan, kurangnya kontrol yang dirasakan, kurangnya hubungan interpersonal, hingga kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja. Sementara itu, Sutherland dan Cooper menyatakan bahwa sumber stres yang berasal dari interaksi lingkungan sosial dengan pekerjaan, meliputi stresor yang ada di dalam pekerjaan itu sendiri, konflik peran, masalah dalam hubungan dengan orang lain, perkembangan karir, iklim dan struktur organisasi, hingga adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.

(b)   Stres yang berasal dari lingkungan

Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, seperti: kebisingan, suhu yang terlalu panas, kesesakan, dan angin badai. Stresor lingkungan mencakup stresor secara makro, seperti migrasi, dan kerugian akibat teknologi modern seperti kecelakaan lalu lintas, bencana nuklir.

Tingkat keseriusan stres

Pendekatan terhadap stres menekankan pada kejadian hidup utama sebagai sumber stres. Pendekatan yang cukup baru adalah perhatian untuk kejadian-kejadian traumatis yang ekstrem, baik buatan manusia (seperti perang) maupun bencana alam (seperti tsunami dan tornado).

Pengalaman traumatis yang paling mengerikan, yang sering diselidiki, adalah perang. Stres yang berhubungan dengan perang dapat disebabkan karena kematian anak, saudara, dan perpisahan dengan keluarga. Pengalaman stres ini, efeknya dapat berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Reaksi panjang seperti ini dinamakan Post Traumatic Stres Disorder (PTSD). Orang yang menderita PTSD mempunyai ciri khas, yaitu mengalami stresor yang sangat ekstrem. Salah satu reaksi terhadap kejadian yang penuh stres adalah tidak responsif, seperti berkurangnya minat untuk melakukan aktivitas, menarik diri, dan penyempitan emosi. Gejala lainnya adalah takut berpisah dan kehilangan, takut akan kematian, disorientasi, depresi, dan agresi.

Mengatasi stres (stress coping)

Menurut Lazzarus dan Folkman, coping stres merupakan suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasanl dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi penuh tekanan. Secara umum, stres dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan di mana hubungan transaksi ini merupakan suatu proses yang dinamis.

Secara umum, coping stres mempunyai dua macam fungsi, yaitu:

1. Emotion-focused coping
Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan obat penenang, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stresful, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya.
2. Problem-focused coping
Untuk mengurangi stresor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode atau fungsi masalah ini lebih sering digunakan oleh orang dewasa.
Ada delapan strategi coping yang berbeda yang secara umum dikenal dalam psikologi, yaitu:
1. konfrontasi,
2. mencari dukungan sosial,
3. merencanakan pemecahan masalah dikaitkan dengan problem-focused coping,
4. kontrol diri,
5. membuat jarak,
6. penilaian kembali secara positif,
7. menerima tanggung jawab, dan
8. lari atau penghindaran.

Tidak ada satu metode pun yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi coping yang paling berhasil. Strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi. Keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling berhasil.

Perbedaan individu dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai macam stres di antaranya dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki (misal inteligensi, kreativitas, kecerdasan emosional), pengaruh lingkungan, pendidikan, pengembangan diri, dan usia. Ada pula beberapa penyesuaian yang dapat bersifat mengurangi gejala stres. Penyesuaian yang tidak disadari yaitu dengan menggunakan defense mechanisms (mekanisme pertahanan diri), sedangkan penyesuaian yang disadari di antaranya membicarakan masalah yang dihadapi dengan orang lain, melakukan pekerjaan lain yang mengurangi simptom stres, atau sekadar tertawa.

Penyesuaian yang sifatnya problem solving terhadap stres, merupakan jenis penyesuaian terhadap stres yang bersifat disadari, berupaya menghilangkan sumber stres, tidak tergesa-gesa atau lebih terarah, ada strategi tertentu, dan lebih efektif. Ini dapat dilakukan dengan memodifikasi diri agar lebih toleran terhadap stres atau memodifikasi situasi yang menimbulkan stres.

Penutup: stres dan kesehatan fisik

Stres merupakan salah satu gangguan psikologis. Oleh karena itu, antara stres dan kesehatan fisik dapat saling mempengaruhi. Stres bisa menyebabkan menurunnya kondisi fisik, sebaliknya penurunan kondisi fisik pun bisa menyebabkan stres. Setiap manusia tentu ingin hidupnya sehat secara fisik dan psikologis. Dengan demikian, dua aspek kesehatan ini perlu diperhatikan secara bersamaan agar setiap individu tidak menjadi individu yang sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar